Jurang mendalam antara Ibu dan Anak

Judul

:

Entrok

Penulis : Okky Madasari
Penyunting :
Pewajah Isi :
ISBN :  9789792255898
Halaman : 282
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :  Pertama, 5 April 2010

Duh, Gusti Allah, kalau memang Kau maha mengetahui, Kau pasti tahu tak ada niatku untuk tidak menyembahMu, untuk menjadi berbeda dengan anakku dan orang-orang lain itu. Tapi bagaimana aku bisa menyembahMu kalau kita memang tidak pernah kenal?

Marni, merasa sangat sedih dan sakit hatinya ketika di cap oleh anaknya yang bernama Rahayu sebagai pendosa. Padahal dia menyekolahkan tinggi-tinggi anaknya bukan untuk memusuhinya ataupun membuat jurang perbedaan diantara mereka semakin lebar. Dia hanya ingin anaknya bisa hidup lebih baik darinya. Sejak kecil Marni hidup susah, karena Ibunya bekerja sebagai buruh di pasar yang dibayar dengan bahan makanan sedang Bapaknya tak diketahui kemana rimbanya. Karena impian Marni yang sederhana untuk bisa memiliki entrok (bra) lah yang membuat hidupnya berubah menjadi lebih baik. Untuk menggapai mimpinya itu, Marni mengikuti Ibunya kerja di pasar sebagai buruh kemudian menjadi kuli panggul agar mendapatkan upah dalam bentuk uang. Saat itu, hanya dirinya lah satu-satunya perempuan yang bekerja sebagai kuli panggul dan menjadi pendobrak adat sebagai perempuan yang diupah tidak dengan bahan makanan. Kemudian uang dari upah kuli panggul itu, dikumpulkannya membeli entrok. Akhirnya Marni merasakan kebahagiaan karena bisa memiliki entrok yang selama ini diidam-idamkannya. Namun, ternyata kebahagiaannya tak bertahan lama, Marni ingin mempunyai entrok sutra yang bertahtakan intan dan permata. Karena mimpinya inilah Marni bertekad untuk mendapatkan lebih banyak uang. Sisa upah sebagai kuli yang selama ini disimpannya dijadikan modal untuk berdagang bakulan dari rumah ke rumah. Seiring dengan berjalannya waktu barang yang ditawarkannya semakin beragam juga tak hanya dari rumah ke rumah tetapi dari kampung ke kampung, juga pembayarannya tidak secara tunai melainkan kredit.

Awalnya, karena berniat menolong tetangganya yang kesusahan,  Marni tak hanya bakulan barang saja tetapi juga uang. Itu yang membuat perselisihan dengan anaknya Rahayu. Karena Rahayu mendapatkan pengajaran dari guru agamanya bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah dosa. Ditambah lagi Rahayu merasa malu dan membenci Ibunya karena mendengar desas-desus orang di desanya yang menuduh Ibunya sebagai orang yang memelihara tuyul, cari pesugihan dan syirik. Memang dari sejak kecil, Ibunya diajari untuk meminta apa yang diinginkannya kepada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa. Ibunya percaya bahwa apa yang didapatkannya selama ini selain karena kerja kerasnya selama ini, juga karena doanya pada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa setiap malam.

Perjalanan hidup Ibu dan anak ini, digambarkan dari tahun 1950-1998 sehingga berbagai sejarah bangsa ini pada periode itu turut juga sedikit dibahas dalam buku ini. Berbagai peristiwa politik yang mempengaruhi kehidupan Marni dan Rahayu.

Buku ini mengungkapkan kisah hidup, baik dari sisi Marni maupun dari sisi Rahayu. Sehingga kita bisa mengetahui perbedaan sudut pandang keduanya.

Dalam sampul belakang disebutkan bahwa karya Entrok ini lahir karena kegelisahan sang pengarang atas menipisnya toleransi dan maraknya kesewenang-wenangan. Namun, dalam cerita ini, saya menyayangkan pada akhirnya toleransi antar Ibu dan Anak itu terjalin dengan baik setelah Rahayu melakukan dosa yang sama yang dilakukan Ibunya. Karena toleransi yang saya pahami adalah ketika kita saling menghormati satu sama lain meskipun terdapat perbedaan diantaranya. Yang dilakukan Rahayu pada akhirnya menerima Ibunya bukan lagi toleransi, tetapi penerimaan karena dia melakukan hal yang sama dengan Ibunya. Akan lebih indah jika Rahayu tetap memegang teguh keyakinannya namun tetap berbuat baik terhadap Ibunya meskipun memiliki keyakinan yang berbeda dengan dirinya.

Ending bukunya sungguh tak terduga dan mengharukan.

Sekayu

buku nh dini

Judul : Sekayu, serial kenangan #4
Penulis : Nh. Dini
Penyunting :
Desain :  Sampul: Raharjo S

Perwajahan: Ipong Purnama Sidhi

ISBN : 9794034118
Halaman : 181
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : November 1988

Jangan sampai aku menjadi budak kebutuhan uang, lalu menyerahkan hasil tulisan yang kuanggap “belum kusukai”

Begitulah sikap Dini ketika remaja, ketika bisa mendapatkan uang saku sendiri atas karyanya. Kehidupan Ibunya yang cukup sulit pasca kematian ayahnya, membuat Dini berusaha untuk tak menyusahkan Ibunya dan bertekad untuk membantunya. Namun ditengah kesulitan hidupnya, Dini masih memegang petuah-petuah dari Ibu juga Ayahnya.

Dalam buku ini menceritakan kehidupan…moreJangan sampai aku menjadi budak kebutuhan uang, lalu menyerahkan hasil tulisan yang kuanggap “belum kusukai”

Begitulah sikap Dini ketika remaja, ketika bisa mendapatkan uang saku sendiri atas karyanya. Kehidupan Ibunya yang cukup sulit pasca kematian ayahnya, membuat Dini berusaha untuk tak menyusahkan Ibunya dan bertekad untuk membantunya. Namun ditengah kesulitan hidupnya, Dini masih memegang petuah-petuah dari Ibu juga Ayahnya.

Dalam buku ini menceritakan kehidupan Dini ketika di SD kelas 6 sampai SMP kelas 3. Bagaimana pengalaman Dini di sekolahannya, pengalaman pertama mengirimkan karyanya pada sebuah radio sampai akhirnya menjadi pengisi tetap acara di radio tersebut, pertama kali mengikuti lomba menulis,kesibukannya dalam berbagai kegiatan seperti pemeberantasan buta huruf dan latihan menari, juga pertamakalinya Dini merasakan ketertarikan dirinya terhadap lawan jenis. Dalam buku ini, Dini tak hanya menceritakan dirinya, Dini juga menceritakan kehidupan keluarga dan sahabatnya yang turut mewarnai kisah remajanya.

Dibandingkan dengan buku-buku sebelumnya, buku ini lebih menyajikan banyak konflik meskipun disajikan dengan cukup datar.

Hati yang damai

Judul : Hati Yang Damai
Penulis :  Nh. Dini
Penyunting :
Pewajah Isi :
ISBN :
Halaman : 90
Penerbit : PT. Pustaka Jaya
Cetakan :

“Antara kita ada pengertian yang besar, ada persamaan yang besar. Hanya dari dulu ada satu beda:aku mencintaimu dan kau tidak mencintaiku.”

Dalam buku ini, menceritakan tentang kehidupan suami istri, dimana sang suami adalah seorang pilot tentara. Maka seringkali sang suami meninggalkan sang istri. Saat suaminya sedang bertugas, masa lalu sang istri muncul kembali… Bukan hanya cinta segitiga saat dulu pernah menimpa sang Istri, sekarang menjadi cinta segiempat. Bagaiamana sang istri berusaha untuk menemukan kembali kedamaian sebelum masa lalu muncul dihadapannya.

Ini merupakan pertama kalinya saya membaca buku novel roman karya NH. Dini. Dalam buku ini, saya merasakan bahwa NH. Dini padai sekali memilihi kata sehingga meskipun novel roman adegannya (adegan yang membuat saya jauh-jauh dari novel dengan genre semacam ini) tidak digambarkan secara vulgar, meskipun begitu saya masih bisa menangkap maksudnya dan bisa mengerti cerita yang disampaikan. Juga adegan “air mata” tak digambarkan dengan berlebihan.

Dari buku ini saya belajar bahwa lari dari masalah sama sekali tak menyelesaikan masalah, sang istri dalam tokoh ini tidak menyelesaikan masalahnya dengan tuntas di masa lalunya sehingga akhirnya mereka kembali mengganggu kedamaian hatinya, juga ketidaktegasannya menolak dan keraguan akan perasaannya. Mungkin buat yang mempunyai kisah-kisah yang tidak tuntas dimasa lalu sebaiknya diselesaikan dengan segera sebelum mengganggu kedamaian hati kita dimasa mendatang.

Mengenang Langit dan Bumi

buku Nh.Dini

Judul

:

Langit dan Bumi Sahabat Kami,

serial kenangan #3

Penulis : Nh. Dini
Penyunting :
Pewajah Isi :
ISBN : 9793239107
Halaman : 139
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1988

Yang kami makan di zaman revolusi itu semuanya bubuken penuh ulat. Serangga yang terdapat dalam bahan makanan itu membentuk sarang, sehingga menggumpal merupakan sulur kotoran dan serbuk yang memuakan.

Begitulah NH. Dini, menceritakan kehidupan dirinya dan keluarganya ketika penjajahan Jepang berakhir dan digantikan serdadu Sekutu. Selain karena sulit sekali mendapatkan makanan di pasar, seringkali tentara Sekutu merampas harta benda penduduk termasuk rumahnya keluarga Dini. Dini mengenang masa-masa dimana dirinya dan keluarganya kesulitan untuk mendapatkan makanan. Beruntung Ibunya lihai mengolah berbagai macam jenis makanan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan dapat dimakan misalnya krokot dan kremah yang biasa dipergunakan sebagai makanan jangkrik, bonggol pisang,bayam tanah, jagung, gaplek, dll. Dini Juga mengenang masa dimana keluarganya berusaha mengelabui serdadu Sekutu yang datang pada saat ayahnya berusaha menyembunyikan barang-barang berharga yang tersisa. Di masa sulit tersebut, orang tua Dini masih bisa membatu saudaranya Kang Marjo dan Yu Saijem juga Yu Kim mengungsi di rumahnya juga Ayahnya Dini masih dapat memberikan kejutan manis kepada anak-anaknya.

Keadaan bertambah sulit karena tidak ada listrik sama sekali juga karena kekeringan yang melanda. Maka Dini sekeluarga harus mandi, mencuci di sungai yang jauh dari rumahnya. Selain itu Teguh,Nugroho dan Kang Marjo bergantian mengangkut air dari sungai tersebut. Keperihatinan Dini sekeluraga juga tetangga-tetangga terdekatnya berakhir ketika ayahnya berhasil menjual burung perkutut kesayangannya untuk membuat sumur baru. Keadaan keluarga Dini semakin membaik ketika perbatasan kota dibuka sehingga bisa terjadi proses barter antara petani yang membawa hasil ladang dan ternak dengan penduduk kota yang mempunyai pakaian dan barang-barang berharga. Mulai saat itulah, keluarga Dini bisa merasakan makanan yang nikmat kembali, berbagai kebahagiaan seperti kebahagiaannya memanen berbagai jenis hasil kebun dan kebahagiaan akan hadirnya anggota keluarga baru. Dalam usianya yang sepuluh tahun, Dini merasa dianggap orang dewasa oleh Yu Saijem karena Dini menjadi tempat curhatnya Yu Saijem. Dalam buku ini diceritakan kisah pencidukan ayahnya oleh serdadu Sekutu karena bekerjasama dengan para pemberontak. Ayahnya memang menolak bekerja pada pemerintah pendudukan dan membantu para pejuang gerilya. Bagaimana kondisi Ayahnya setelah diciduk oleh Sekutu dan kondisi Heratih serta Suami juga Maryam yang terpisah selama masa pendudukan Sekutu digambarkan di akhir buku ini. Berkat keluarganyalah, Dini menyadari bakatnya sebagai penulis.

Dibandingkan dengan kedua buku sebelumnya, buku ini tak hanya berkisar tentang diri Dini dan keluarga tetapi juga memotret kondisi di sekelilingnya. Hal ini mungkin dikarenakan Dini sudah cukup besar, dikatakan dalam buku ini dia berusia sepuluh tahun. Selain itu, Dini juga lebih banyak mengingat petuah-petuah dari Ibu Bapaknya juga berbagai situasi yang membentuk cara pandangnya di kemudian hari. Dengan membaca buku ini, saya semakin bersyukur akan kenikmatan yang saya dapatkan selama ini. Kenikmatan yang tidak semua orang merasakannya, meskipun saat ini negeri ini telah meredeka.

Petuah-petuah dari Ibu dan Bapaknya NH. Dini yang saya suka:

Ya, Ibu kami mengingatkan bahwa selagi kami makan makanan yang pantas, bersih dan tidak busuk, di daerah-daerah yang lain barangkali masih banyak orang yang hanya memiliki jagung dan menir berulat seperti makanan kami dua hari yang lalu. Bahkan barangkali banyak orang yang sama sekali tidak mempunyai sesuatupun untuk pengisi perut.

Kuharap anak-anakku tetap rendah hati tetapi tahu harga diri. Menghargai pula apa yang kita punyai hari ini karena itu adalah karunia Tuhan. Jangan ngongso. Kita masing-masing memang diwajibkan berusaha mendapatkan yang lebih baik lagi. Hanya caranya harus baik dan menuruti adat kejujuran.

Banyak orang yang tidak mengerti apa itu kegembiraan dan kebahagiaan. Padahal itu ditemukannya setiap hari, bahkan berkali-kali dalam setiap hari. Umpamanya seseorang yang hampir jatuh, tapi tidak jadi. Dia tidak mengetahui bahwa itulah kebahagiaan. Dia bilang: Untung tidka jatuh! Ya, itu! Perasaan beruntung itulah yang bisa disebut kebahagiaan. Atau tiba-tiba hujan, dia bawa payung. Dia mengatakan: ah, untung bawa payung. Hatinya senang sekali, karena tidak terpaksa menunggu sampai hujan teduh. Nah, itu perasaan amat senang itu dapat disebut kebahagiaan juga.

Tidak ada pekerjaan yang hina selama kita mengerjakan setulus hati, dengan kepercayaan, kejujuran, tanpa mengganggu orang lain. Semua pekerjaan itu baik. Tergantung kepada cara kita menunaikannya dan menempatkan diri di kalangan tugas tersebut.

Ibu memperingatkan anak-anak agar selalu mencintai dan menghormati bumi dan Tuhan penciptanya

Padang Ilalang dalam kenangan

buku nh dini
Judul : Padang Ilalang di Belakang Rumah,

seri kenangan #2

Penulis : Nh. Dini
Penyunting :
Pewajah Isi :
ISBN :
9794030392
Halaman : 99
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Januari, 1987

Demikianlah kehidupan terus mengalir.
Dari seluruh isi rumah, ibukulah yang paling terengah-engah. Ia berusaha mengikuti zaman dengan langkahnya yang sempit, tertahan-tahan oleh kain dan kebiasaan adat yang sukar dilepaskan.

Beitulah kenangan NH. Dini ketika serdadu Jepang mulai menggantikan kedudukan Belanda. Kehidupan ekonomi yang sulit ketika masa Jepang, membuat orang semacam Nyonya Bustaman yang termasuk ke dalam strata sosial bangsawan harus rela menjadi bakul rombengan (pakaian bekas). Awalnya Ibu Dini yang juga bangsawan sulit untuk menerima perubahan itu, tetapi melihat kenyataan Nyonya Bustaman maka Ibunya mulai menjadi buruh batik dan menerima pesanan kue kering. Ketika proses perkenalan Kakak pertamanya Heratin dengan seorang pria, sikap Ibunya yang awalnya memberikan banyak batasan juga melonggar. Sikap Ibunya yang tanggap terhadap perkembangan zaman dipuji berkali-kali oleh Dini.

Kenangan Dini kecil melekat dengan kuat ketika dia dan kakak-kakaknya bahu membahu membantu pekerjaan Ibunya juga kenangan akan nama panggilan saudara-saudaranya (Heratin-Lara Ireng, Nuggraha-Manu Pendet, Teguh-Banteng, Maryam -Genuk, Dini-Krupuk),NH. Dini juga mengingat kegelisahannya menantikan tontonan wayang orang dan keseruan menirukan lakon wayang orang yang telah ditontonnya, rahasia antara dirinya dan Maryam tentang padang ilalang, kesulitannya mengucapkan “er”, dan terutama kenangan bagaimana Dini dan keluarganya bisa bertahan dalam peperangan. Perang telah berakhir menyisakan berbagai cerita mengerikan, bagaimana kehidupan Dini setelah peperangan berakhir? Benarkah perang talah berakhir sepenuhnya? Cerita kenangan ini masih terus berlanjut.

Buku ini, merupakan buku kedua dari seri cerita kenangan NH. Dini yang terdiri dari lima buku. Dalam buku ini, Dini tetap menceritakan kenangan masa kecilnya dengan detail dan jujur.

Kedekatannya keluarganya dengan keluarga Bibi dan Paman Iman Sujahri membuat Dini dekat dengan putri pertama mereka, Edi Sedyawati. Seringkali Dini menginap di rumah pamannya dan bergitupula sebaliknya, dikisahkan bahwa suatu waktu Dini perlu menginap beberapa minggu karena bibinya melahirkan dan saat itu Dini merasakan bagaimana rasanya kelaparan,ketika kembali ke rumahnya Dini menggambarkannya dengan perasaannya.

Rumah kami yang lindung, betapun buruk dan tuanya,lebih ramah dan akrab daripada gedung besar kediaman sepupuku. Kebun kami yang tidak teratur, merupakan kawan yang setia dan dermawan, memberi berbagai buah segar, menerima kami bermain di bawah naungan pohon-pohonnya yang penuh ranting dan daunan. Aku juga menemukan kembali si jalak, kucing-kucingku, itik dan ayam yang ribut, Yng justru menggambarkan suasana keluarga dan rumah tangga. Tentu saja, padang ilalang yang memigiri kali di belakang rumah kami.

Mungkin karena tergolong keluarga yang bangsawan maka kekejaman dan kesulitan hidup pada masa penjajahan Jepang tak begitu ketara disini; selain berkurangnya jumlah pembantu di rumahnya dan Ibunya yang perlu bekerja mencari nafkah..
Juga karena masih anak kecil yang harus berlindung dan berada di tempat aman ketika peperangan terjadi maka suasana perang yang digambarkan kurang mencekam. Akan tetapi, tetap saja buku ini tetap menarik untuk dibaca.