Kota Pyongyang itu sendiri misalnya, meskipun bagi warga Jakarta seperti saya sungguh-sungguh tanpa warna, memang seperti reprentasi ‘keteraturan’, ‘ketertiban’, dan yang paling tidak enak tentu ‘keseragaman’.
Sejauh saya masih mengingatnya, Pyongyang itu serba kelabu dan serba lenggang, dan sekaligus serba seragam pula….. Sepanjang jalan hanyalah gedung-gedung kelabu serabag dan kompleks apartemen yang meski tidak seperti yang dikenal sebagai ‘apartemen’ di Jakarta, jelas di atas rumah susun untuk rakyat seperti di Tanah Abang
Tulisan di buku ini, merupakan oleh-oleh dari Seno Gumira Aji Darma ketika diundang ke Korea Utara untuk menjadi juri pengganti Festival Film Internasional Pyongyang ke-8 pada tahun 2002. 10 tahun yang lalu, tentunya sudah menjadi kenangan, bagian dari sejarah, namun bisa jadi waktu tak merubah wajah kota Pyongyang beserta masyarakatnya mengingat negara ini masih tertutup dan kondisi politik disana yang belum berubah, bilapun berubah, buku ini masih menarik untuk kita jelajahi karena tak hanya bertutur tentang pengalamannya selama bertugas tujuh belas hari di Pyongyang, SGA juga melengkapi buku ini dengan foto-foto 🙂
Dari awal, ketidakbebasan dirasakan oleh SGA, meskipun menjadi tamu negara, SGA merasa segala gerak-geriknya diawasi, selain oleh penterjemah yang selalu menempel . Beliau juga bercerita tentang Hotel Yanggakdo yang terletak di tengah delta Sungai Taedong, di sebuah pulau Yanggak sehingga jika ingin keluar dan masuk hotel harus melalui jembatan Yanggak. Seperti memang dirancang untuk membuat tamu hotel terisolasi dan mudah diawasi. Menurut SGA, segala sesuatu di Korea Utara sangat terawasi oleh lembaga negara.
Kebebasan merupakan sesuatu yang langka di negara ini, bahkan untuk pakaian warganya, selama kunjungannya SGA tak pernah melihat penduduk Pyongyang berpakaian warna-warni, atasan hampir selalu putih dan berlengan pendek terkecuali untuk para penari atau penyambut tamu. Khusus untuk tarian dan kesenian, negeri ini memang bersungguh-sungguh untuk mendidik bakat seni agar dapat dipamerkan kepada tamu negara sehingga tamu negara sehingga memberikan kesan sebagai ‘komunis yang berbeda’ dengan selera artistik yang luar biasa tinggi. Selain itu, meskipun tidak ada larangan untuk mendokumentasikan wajah negeri ini, tetapi seringkali SGA tidak mempunyai kebebasan untuk memotret, seringkali penterjemah yang selalu bersamanya melarang SGA untuk memotret, terutama mengabadikan wajah warga Korea Utara.
Selain itu, kebebasan untuk memiliki kepercayaan merupakan sesuatu yang ajaib, hanya ada 3% pemeluk Buddhisme, sisanya tidak beragama,
“Dahulu kala bangsa Korea kan jelas beragama, sejak kapan kepercayaan ditinggalkan?”
“Ketika kami dijajah Jepang, kami sangat menderita, dan kami semua berdoa terus menerus, tetapi perubahan tak kunjung tiba” jawab penterjemah itu, “maka Pemimpin Besar Kim Il-Sung berkata bahwa perubahan hanya bisa terjadi dengan usaha manusia. Jadi kami lebih percaya kepada manusia.”
Begitulah, percakapan yang diingat oleh SGA dengan penterjemahnya, mereka sangat mengagungnkan pemimpin besarnya-dan menganggapnya sebagai pemimpin abadi.
Rupa-rupanya propaganda, indoktrinasi, dan ujung-ujungnya agitasi, memang instrumen penting politik kepemimpinan RRD Korea
Tak hanya itu, pemerintah juga berusaha untuk membatasi informasi dan pikiran orang membuat rakyat percaya kepada apapun yang disampaikan negara.
Terus terang bukan atheisme yang mengganggu saya, sepanjang itu menjadi pilihan sadar yang bertanggung jawab dan konsekuen dengan segala resikonya; yang sangat saya terganggu adalah peranan negara sebagai pencuci otak dan pencetak cara memandang dunia seperti itu, tanpa yang menerimanya itu mampu bertanggung jawab, karena memang ‘beriman’ terhadap ideologi negara bukan berdasarkan pilihan berkesadaran.
Semua diatur, bahkan disana tidak ada yang bisa dibeli dengan uang, karena tidak ada perdagangan, yang ada hanyalah pekerjaan. Hanya untuk tamu negaralah uang digunakan.
Buku ini sebetulnya menarik untuk dibaca, hanya saja sangat disayangkan, buku ini dituliskan setelah 10 tahun, sehingga SGA mengakui banyak kenangan yang telah memudar. Namun tetap salut untuk usaha SGA menggali berbagai ingatan tentang kota ini dan membagikan oleh-oleh ceritanya kepada kita semua.
Dalam buku ini, SGA menyinggung hotel Ryugyong, yang merupakan bangunan tertinggi di Korea Utara, belum rampung. Memang pada tahun 2002, pembangunan terhenti karena krisis ekonomi, namun, saat ini, hotel tersebut sudah selesai pembangunannya hanya saja bersarkan berita pada tahun 2013, hotel ini belum beroperasi.
Buat saya, seperti yang dirasakan oleh SGA, setelah membaca buku ini, saya bersyukur tinggal di negeri dimana kita masih bebas untuk berfikir, berbendapat, menganut kepercayaan, mengekspresikan diri, sesuatu yang sangat sulit dilakukan di belahan negara lain.
![Monument to the Three Charter for Nation Reunification](https://pengunyahkata.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/08/monument-to-the-three-charter-for-nation-reunification.jpg?w=665&h=333)
Monument to the Three Charter for Nation Reunification (untuk mengisaratkan bersatu dengan bagian selatan)
Sesungguhnya sejarah mencatat, hanya ada satu kekaisaran Korea, tidak ada Korea Selatan dan Korea Utara. Tetapi setelah Perang Dunia II, sekutu membagi Korea tanpa melibatkan pihak Korea menjadi dua bagian yang terpisah. Mungkinkah perbedaan ideologi dan perbedaan yang lainnya semakin memisahkan jauh antara Selatan dan Utara atau mungkinkah nanti, sejarah akan mencatat penyatuan negara ini, seperti yang terisirat pada monumen to the Three Charter for Nation Reunification ? Maka nanti mungkin, kita akan melihat wajah Pyongyang yang berbeda
Judul | : | Jejak Mata Pyongyang | ||
Penulis | : | Seno Gumira Ajidarma | ||
ISBN | 9789791770897 | |||
Halaman | : | 156 | ||
Penerbit | : | Muffin Graphics (PT Mizan Pustaka) | ||
Tahun Terbit | : | Cetakan Pertama, April 2015 |
…Postingan ini, diikutkan dalam, Asia Pacific History Reading Challenge 2015 dan Non-Fiction Reading Challenge 2015