Jejak Mata Pyongyang

Jejak mata Pyongyang

Kota Pyongyang itu sendiri misalnya, meskipun bagi warga Jakarta seperti saya sungguh-sungguh tanpa warna, memang seperti reprentasi ‘keteraturan’, ‘ketertiban’, dan yang paling tidak enak tentu ‘keseragaman’.

Sejauh saya masih mengingatnya, Pyongyang itu serba kelabu dan serba lenggang, dan sekaligus serba seragam pula….. Sepanjang jalan hanyalah gedung-gedung kelabu serabag dan kompleks apartemen yang meski tidak seperti yang dikenal sebagai ‘apartemen’ di Jakarta, jelas di atas rumah susun untuk rakyat seperti di Tanah Abang

Tulisan di buku ini, merupakan  oleh-oleh dari Seno Gumira Aji Darma ketika diundang ke Korea Utara untuk menjadi juri pengganti Festival Film Internasional Pyongyang ke-8 pada tahun 2002. 10 tahun yang lalu, tentunya  sudah menjadi kenangan, bagian dari sejarah, namun bisa jadi  waktu  tak merubah wajah  kota Pyongyang beserta masyarakatnya mengingat negara ini masih tertutup  dan kondisi politik disana yang belum berubah, bilapun berubah, buku ini masih menarik untuk kita jelajahi karena tak hanya bertutur tentang pengalamannya selama bertugas tujuh belas hari di Pyongyang, SGA juga melengkapi buku ini dengan foto-foto 🙂

Dari awal, ketidakbebasan dirasakan oleh SGA, meskipun menjadi tamu negara, SGA merasa segala gerak-geriknya diawasi, selain  oleh penterjemah yang selalu menempel . Beliau juga bercerita tentang Hotel Yanggakdo yang terletak di tengah delta Sungai Taedong, di sebuah pulau Yanggak sehingga jika ingin keluar dan masuk hotel harus melalui  jembatan Yanggak. Seperti memang dirancang untuk membuat tamu  hotel terisolasi dan mudah diawasi. Menurut SGA, segala sesuatu di Korea Utara sangat terawasi oleh lembaga negara.

Kebebasan merupakan sesuatu yang langka di negara ini, bahkan untuk pakaian warganya, selama kunjungannya SGA tak pernah melihat penduduk Pyongyang berpakaian warna-warni,   atasan hampir selalu putih dan berlengan pendek terkecuali untuk  para penari atau penyambut tamu. Khusus untuk tarian dan kesenian, negeri ini memang bersungguh-sungguh untuk mendidik bakat seni agar dapat dipamerkan kepada tamu negara sehingga tamu negara sehingga memberikan kesan sebagai ‘komunis yang berbeda’ dengan selera artistik yang luar biasa tinggi. Selain itu, meskipun tidak ada larangan untuk mendokumentasikan wajah negeri ini, tetapi seringkali SGA tidak mempunyai kebebasan untuk memotret, seringkali penterjemah yang selalu bersamanya melarang SGA untuk memotret,  terutama mengabadikan wajah warga Korea Utara.

Selain itu, kebebasan untuk memiliki kepercayaan merupakan sesuatu yang ajaib, hanya ada 3% pemeluk Buddhisme, sisanya tidak beragama,

“Dahulu kala bangsa Korea kan jelas beragama, sejak kapan kepercayaan ditinggalkan?”

“Ketika kami dijajah Jepang, kami sangat menderita, dan kami semua berdoa terus menerus, tetapi perubahan tak kunjung tiba” jawab penterjemah itu, “maka Pemimpin Besar Kim Il-Sung berkata bahwa perubahan hanya bisa terjadi dengan usaha manusia. Jadi kami lebih percaya kepada manusia.”

Begitulah, percakapan yang diingat oleh SGA dengan penterjemahnya, mereka sangat mengagungnkan pemimpin besarnya-dan menganggapnya sebagai pemimpin abadi.

Rupa-rupanya propaganda, indoktrinasi, dan ujung-ujungnya agitasi, memang instrumen penting politik kepemimpinan RRD Korea

Tak hanya itu, pemerintah juga berusaha untuk membatasi informasi dan pikiran orang membuat rakyat percaya kepada apapun yang disampaikan negara.

Terus terang bukan atheisme yang mengganggu saya, sepanjang itu menjadi pilihan sadar yang bertanggung jawab dan konsekuen dengan segala resikonya; yang sangat saya terganggu adalah peranan negara sebagai pencuci otak dan pencetak cara memandang dunia seperti itu, tanpa yang menerimanya itu mampu bertanggung jawab, karena memang ‘beriman’ terhadap ideologi negara bukan berdasarkan pilihan berkesadaran.

Semua diatur, bahkan disana tidak ada yang bisa dibeli dengan uang, karena tidak ada perdagangan, yang ada hanyalah pekerjaan. Hanya untuk tamu negaralah uang digunakan.

Buku ini sebetulnya menarik untuk dibaca, hanya  saja sangat disayangkan, buku ini dituliskan setelah 10 tahun, sehingga SGA  mengakui  banyak kenangan yang telah memudar. Namun tetap salut untuk usaha SGA menggali berbagai ingatan tentang kota ini dan membagikan oleh-oleh ceritanya kepada kita semua.

Dalam buku ini, SGA menyinggung hotel Ryugyong, yang merupakan bangunan tertinggi di Korea Utara, belum rampung. Memang pada tahun 2002, pembangunan terhenti karena krisis ekonomi, namun, saat ini,  hotel tersebut sudah selesai pembangunannya  hanya saja  bersarkan berita pada tahun 2013, hotel ini belum beroperasi.

Buat saya, seperti yang dirasakan oleh SGA, setelah membaca buku ini, saya bersyukur tinggal di negeri dimana kita masih bebas untuk berfikir, berbendapat, menganut kepercayaan, mengekspresikan diri, sesuatu yang sangat sulit dilakukan di belahan negara lain.

Monument to the Three Charter for Nation Reunification

Monument to the Three Charter for Nation Reunification (untuk mengisaratkan bersatu dengan bagian selatan)

Sesungguhnya sejarah mencatat, hanya ada satu kekaisaran Korea,  tidak ada Korea Selatan dan Korea Utara. Tetapi setelah Perang Dunia II, sekutu membagi Korea tanpa melibatkan pihak Korea menjadi dua bagian yang terpisah. Mungkinkah perbedaan ideologi dan perbedaan yang lainnya semakin memisahkan jauh antara Selatan dan Utara atau mungkinkah nanti, sejarah akan mencatat penyatuan negara ini, seperti yang terisirat pada monumen to the Three Charter for Nation Reunification ? Maka nanti mungkin, kita akan melihat wajah Pyongyang yang berbeda

Judul : Jejak Mata Pyongyang
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
ISBN 9789791770897
Halaman : 156
Penerbit : Muffin Graphics (PT Mizan Pustaka)
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, April 2015

…Postingan ini, diikutkan dalam, Asia Pacific History Reading Challenge 2015 dan Non-Fiction Reading Challenge 2015

Mendidik Anak Sukses ala China

battle-hymn-of-the-tiger-mother-cara-mendidik-anak-agar-sukses-cara-china

“Mommy ibu yang mengerikan.Egois. Tidak peduli apa-apa kecuali diri sendiri. Apa-Mommy tidak percaya betapa tidak bersyukurnya aku? Setelah semua yang Mommy lakukan untukku? Semua yang Mommy bilang Mommy lakukan untukku sebenarnya Mommy lakukan untuk diri sendiri.”

Begitulah yang dikatakan Lulu, anak kedua dari Amy Chua sebagai puncak dari pemberontakan dari didikan ala China Ibunya yang super keras. Sebelumnya Lulu seringkali tidak patuh terhadap Ibunya yang menuntutnya untuk latihan piano, bahkan meskipun alat musiknya diganti dengan biola, Lulu menunjukkan perlawanan atas segala pemaksaan yang dilakukan Ibunya ketika mengharuskannya latihan biola lebih lama atau bermain biola ketika liburan atau ketika harus memainkan biola di hari specialnya. Tapi, sebagai Ibu China, Amy tak pernah mengalah dan menganggapnya sebagai sebuah pertempuran. Meski pun begitu, Lulu selalu mendapatkan prestasi membanggakan di sekolah .Berbeda dengan Lulu, Kakanya Sophia sangat penurut dan memenuhi semua rencana dan ambisi ibunya sehingga menjadi anak yang membanggakan dan menuai banyak pujian.

Buku ini, merupakan sebuah memoar Amy Chua, seorang Ibu imigran keturunan China di Amerika yang mendidik kedua anaknya dengan ala-China. Meskipun Amy Chua seorang professor yang menyenangkan bagi mahasiswanya di sebuah universitas Yale, tidak untuk kedua anaknya. Berbagai peraturan ketat diterapkan, seperti halnya orang tua China yang melarang anak-anaknya untuk menginap di rumah teman, janjian bermain bersama teman-teman, ikut drama di sekolah, mengeluh karena tidak diizinkan ikut drama di sekolah, menonton TV atau main game kompoter, memilih kegiatan ekstrakulikuler sendiri, mendapat nilai di bawah A, tidak mendapat nomor satu di setiap pelaaran kecuali olahraga dan drama. Ibu China percaya bahwa tugas sekolah selalu menempati urutan pertama, nilai A minus itu jelek, anak-anak harus mencapai taraf penguasaan matematika dua tahun di atas kemampuan teman-teman sekelasnya, orangtua tidak boleh memuji anak di depan orang lain, kalau anak sampai pernah berbeda pendapat dengan guru atau pelatih, orang tua harus membela guru atau pelatih, satu-satunya kegiatan yang boleh dilakukan adalah yang memungkinkan merek amemenangkan mendali dan mendalinya harus mendali emas. Menurut Amy, orang tua China punya dua keunggulan dibandingkan dengan orangtua Barat: pertama, cita-cita yang lebih tinggi untuk anak-anaknya dan yang kedua, rasa hormat yang lebih besar terhadap anak-anaknya dalam mengenal seberapa banyak hal yang mampu mereka pelajari. Oleh karena itu, Amy percaya sepenuhnya pendidikan ala China-seperti yang diterapkan orangtuanya padanya merupakan pola pendidikan yang sangat tepat dibandingkan dengan pendidikan barat. Menurutnya, terdapat tiga perbedaan besar antara pola pikir orangtua China dan Barat. Pertama, orang tua Barat luarbiasa cemas tentang harga diri anak-anak mereka, mereka prihatin tentang keadaan jiwa anak-anak mereka sementara orang tua China memegang teguh kekuatan dan bukan kerapuhan. Kedua, orangtua China yakin bahwa anak-anak mereka berhutang segalanya kepada mereka sehingga anak-anak China sepanjang hidupnya harus membalas budi kepada orang tua mereka dengan mematuhi dan membuat orang tua mereka bangga. Dan yang ketiga, orang tua China yakin mereka tahu apa yang terbaik untuk anak-anak mereka dan oleh sebab itu mengabaikan semua keinginan dan pilihan anak-anak mereka.
Maka sangat wajar bila tidak ada waktu untuk berleha-leha atau bersenang-senang atau bermain bagi kedua anaknya, setiap saat mereka selalu sibuk,mengerjakan berbagai tugas selain berlatih keras dengan alat musik yang dipilhkan oleh Ibunya, piano untuk Sophia dan biola untuk Lulu.
Mereka dituntut bukan hanya sekedar bisa tapi bisa mecapai prestasi dan melakukan yang terbaik sejak usia dini juga untuk berlaku sesuai kesopanan. Tidak satu hari pun mereka membolos latihan, bahkan pada hari ulang tahun mereka atau di hari mereka sakit, dan pada hari berlibur sekalipun. Bukan hanya memberikan les tambahan atau menghadirkan guru musik yang hebat,bahkan ditengah kesibukan pekerjaannya, Amy meluangkan waktu mengantarkan anaknya dan mengawasi dengan sangat ketat waktu mereka berlatih alat musik tersebut dan tak segan-segan mengecam atau menghina permainan anaknya.Tak segan-segan Amy mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk mendukung anaknya mencapai prestasi juga memberikan pesta yang mewah untuk merayakan keberhasilan anaknya tersebut.

Buku ini memberikan jawaban, bagaimana anak-anak China dapat mencapai prestasi yang mencengangkan sejak dini, bagaimana seorang Ibu menempa mental anaknyam enjadi mental juara-yang pantang menyerah dan melipat gandakan usaha dan kerjakeras. Meskipun tampak “sangat tega” terhadap anak, tapi saya yakin orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. –Termasuk Amy Chua yang yakin dengan kerasnya didikan sejak dini, anak-anaknya akan menuai masa depan yang gemilang. Karena didikan orang tuanya mengantarkan dirinya dan juga saudara-saudaranya menjadi sesosok yang berhasil. Dalam buku ini, diceritakan bukan hanya anak saja yang bekerja keras tetapi Ibu juga. Meski harus melewwati “peperangan” dengan anaknya atau bahkan dengan suaminya.

“Tujuan Mommy sebagai orang tua adalah menyiapkan kalian untuk masadepan-bukan untuk membuat kalian suka pada Mommy.”

“Segala sesuatu yang saya lakukan sudahjelas 100% untuk kepentingan kedua putri saya. Bukti yang paling kuat, begitu banyak upaya yang saya lakukan untuk Sophia dan Lulu menyengsarakan, meletihkan dan jauh dari menyenangkan untuk saya sendiri.”

Dari buku ini saya juga belajar bahwa tidak semua pola asuh bisa diterapkan dengan tepat untuk semua anak. Hal ini dicontohkan, dengan suksesnya didikan China untuk anak pertamanya tapi Amy harus berdamai dengan keduanya. Ketika Lulu menginjak remaja dengan memberikannya sentuhan didikan Barat yang percayaakan pentingnya pilihan pribadi, berkacapada ayahnya Amy yang merasa tidak cocok dengan didikan China dari orang tuanya sehingga memutuskan pergi jauh dari keluarganya dan membenci keluarganya.

Banyaksekali quote di bukuini yang sayasuka, dan nilai plusnya, dibuku ini quote tersebut diberikan tandakhusus

“Hidup ini begitu singkat dan begitu rapuh, tentunya kita masing-masing harus berusaha memberi sebanyak mungkin makna pada setiap tarikan napas kita, setiap detik dari waktu yang berlalu.”

Didikan keras atau lunak bukan merupakan parameter tanda cinta atau sayang orang tua pada anaknya. Jadi jangan pernah menjudge para orang tua yang membesarkan anaknya dengan cara yang berbeda dari lingkungan pada umumnya.
Salut untuk para Ibu di seluruh dunia.

 

Judul : Battle Hymn of The Tiger Mother : Mendidik Anak agar Sukses ala China
Penulis : Amy Chua
Penterjemah : Maria Sundah
ISBN 9789792270822
Halaman : 248
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit
: Cetakan Kedua, Desember 2011

…Postingan ini, diikutkan dalamn Non-Fiction Reading Challenge 2015

 

Hiroshima: Ketika bom dijatuhkan

Tepat, pukul 08.15 waktu Jepang, 6 Agustus 1945, sebuah bom atom meledak di atas Hiroshima.

NONA TOSHIKO SASAKI, seorang juru tulis di departemen personalia perusahaan East Tin Works, sedang berbicara dengan gadis di sebelahnya

DOKTER MASAZAKU FUJII, seorang pemilik rumah sakit swasta, baru saja duduk dengan nyaman di terasnya.

NYONYA HATSUYO NAKAMURA, seorang penjahit telah menjadi janda, sedang melihat pemandangan aneh dari jendela rumahnya.

PASTUR WILHEM KLEINSORGE, seorang pendeta Jerman, sedang membaca masalah Penginjilan

DOKTER TERUFUMI SASAKI, seorang dokter bedah muda, sedang berjalan di koridor rumah sakit sambil membawa specimen darah yang akan dipakai untuk tes wesserman.

PENDETA KIYOSHI TANIMOTO, seorang pendeta Gerja Metodis Hiroshima, sedang mulai mengeluarkan pakaian dan barang-barang lainnya dari gerobak di depan sebuah rumah di pinggiran kota.

Enam orang ini menjadi saksi, menceritakan kisahnya, menjadi sedikit dari orang yang selamat dari bom-dengan kilat putih dan tampa suara- yang menewaskan sekitar seratus ribu orang di pagi itu. Mengapa mereka selamat? Bagaimana mereka bisa bertahan hidup? Buku ini menceritakan perjuangan mereka. Ketika, kata selamat bukan menjadi akhir, tapi menjadi awal kehidupan yang sama sekali berbeda dari pagi itu-sebelum bom jenis baru dijatuhkan di Hiroshima. “Kilat Putih” yang efek kerusakannya terasa dasyat.

Saya sudah sering mendengar atau membaca mengenai dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, saya sudah mempersiapkan diri akan kengerian ketika membaca buku ini, tapi tetap sajaaa… berulangkali saya harus berhenti, kemudian melanjutkan membaca, berhenti kembali, membaca sebentar, berhenti lagi. Oh, segalanya sungguh sangat-sangat…mengiris hati. Saya tidak bisa membayangkan kalau saya berada di posisi mereka ketika itu. Rasanya bom itu tak hanya menghancurkan sebuah kota, tapi menghancurkan kehidupan beberapa generasi.

Saya jadi ingin tahu tak hanya kabar fisik dari para korban yang selamat tetapi juga bagaimana sikap mereka dalam melanjutkan kehidupan. Tak hanya setahun kemudian, tapi bertahun-tahun kemudian. Tentunya mereka tak kan pernah lupa, pagi itu. Sampai sekarang…. Tentunya, kejadian mengerikan ini, masih diingat tak hanya oleh penduduk Jepang, tapi seluruh dunia. Untuk menapak tilas kejadian itu bisa mengunjungi Hiroshima Peace Memorial Museum (bisa melakukan virtual visit juga ke museumnya, jadi bisa lebih kebayang kerusakan dan akibat dari bom atom yang dijatuhkan saat itu T___T) ada juga foto-fotonya akibat dari bom yang dijatuhkan (ah saya ga tega liatnya…)

Salah satu foto di museum Peace Memorial Hiroshima

Selalu ada kekaguman terhadap orang-orang yang tetap menolong atau membantu orang lain meskipun disaat yang sama dirinyapun patut untuk diberikan pertolongan. Meski di buku ini digambarkan pula, betapa sulitnya untuk dapat menolong orang yang meminta pertolongan sehingga dengan terpaksa diabaikan.

Ada beberapa hal terkait bom yang dijatuhkan di Hiroshima yang dituliskan di buku ini:

Penyakit akibat bom ini terdiri dari tiga tahap

  • Tahap pertama,  reaksi langsung akibat bombardemen terhadap tubuh pada saat bom meledak. Bombardemen ini dilakukan oleh neutron, partikel beta, dan sinar gamma. Orang-orang yang terlihat tidak terluka, tapi meninggal secara misterius dalam waktu beberapa jam atau hari pertama pengeboman adalah korban tahap pertama ini. Korban yang meninggal akibat radiasi tahap pertama berjumlah 95% dari keseluruhan jumlah orang yang berada dalam radius 800m dari pusat ledakan. Ribuan lainnya tewas pada jarak yang lebih jauh. Walaupun sebagian besar korban tewas ini juga menderita luka bakar dan dampak ledakkan lainnya, para dokter menyadari bahwa mereka telah menyerap cukup banyak radiasi untuk membunuh mereka. Sinar-sinar ini menghancurkan sel-sel tubuh karena membuat neukleus (inti sel) berhenti berkembang dan merusak dinding sel. Banyak korban yang tidak langsung tewas dan terserang rasa pening, sakit kepala, diare, malaise (perasaan tidak sehat), dan demam selama berhari-hari. Para dokter belum bisa memutuskan apakah gejala-gejala ini merupakan akibat radiasi atau goncangan saraf
  • Tahap kedua, terjadi 10 atau 15 hari setelah pengeboman. Gejala awalnya adalah rontoknya rambut. Selanjutnya, muncul penyakit diare dan demam yang suhunya bisa mencapai 41o Kira-kira 25-30 hari setelah ledakan, timbul kerusakan secara drastic, dan petechiae timbul di seluruh kulit dan mucous membrane . Penurunan jumlah sel darah putih secara drastic membuat kemampuan pasien untuk menahan infeksi berkurang. Karena itu, luka terbuka biasanya sulit disembuhkan. Selain itu, banyak korban yang menderita radang tenggorokan dan mulut. Dua gejala kunci yang menjadi dasar perkiraan para dokter ini adalah demam dan turunnya jumlah sel darah putih. Jika demam tetap tinggi selama berhari-hari, kesempatan pasien untuk sembuh kecil. Jumlah sel darah putih seorang pasien turun hingga dibawah seribu, kemungkinannya untuk hidup sangat kecil. Pada akhir tahap kedua, jika pasien dapat bertahan, anemia atau penurunan jumlah sel darah merah, juga akan menyerangnya
  • Tahap ketiga adalah reaksi yang timbul ketika tubuh berusaha mengembalikan kondisi tubuhnya. Sebagai contoh, jumlah sel darah putih akan melonjak hingga diatas normal. Pada tahap ini, banyak pasien yang mati akibat komplikasi, misalnya karena infeksi dalam rongga dada. Sebagian besar luka bakar akan sembuh dengan meninggalkan bekas luka bakar berwarna merah jambu yang dikenal sebagai tumor keloid. Durasi penyakit ini bervariasi, tergantung pada keadaan fisik seseorang dan jumlah radiasi yang diterimanya. Beberapa pasien sembuh dalam waktu seminggu, sementara pasien lainnya baru sembuh setelah berbulan-bulan

–  Secara jangka panjang, terjadi kerusakan darah

Bom ini tidak merusak organ bawah tanah setiap tanaman, justru mempecepat pertumbuhannya. Dimana-mana tumbuh tanaman blueberry dan Spanish bayonets, goosefoot, morning glory, dan day liles, kacang-kacangan, dan tanaman semak seperti wijen, rumput panic grass dan seruni.

Meskipun Amerika tidak member tahu jenis bom yang dijatuhkannya, ilmuwan Jepang langsung melakukan penelitian dan  menemukan sejumlah fakta:

  • Temperatur di pusat ledakan mencapai 6000o
  • Bom uranium telah meledak di Hiroshima dan sebuah bom plutonium yang lebih kuat meledak di Nagasaki.
  • Menurut perkiraan, dengan bom primtif yang digunakan di Hiroshima, diperlukan lubang perlindungan dari beton setebal 125 cm untuk melindungi manusia seutuhnya dari penyakit radiasi.

Buku ini, dituliskan oleh John Hersey seorang jurnalis yang pernah memenangkan penghargaan Pulitzer Prize untuk karyanya the Bell of Adano. Menurut saya (yang tidak terlalu menyukai buku-buku sejarah), buku ini tidak membosankan untuk dibaca karena dituturkan dengan gaya bahasa fiksi.

Judul : Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Penulis : John Hersey
Penterjemah : Gatot Triwira
ISBN 9789793731292
Halaman : 165
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun Terbit
: Cetakan Pertama, Mei 2008

…Postingan ini, diikutkan dalam, Asia Pacific History Reading Challenge 2015 dan Non-Fiction Reading Challenge 2015

Proses Kreatif Mengarang

Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana saya mengarang jilid 4 ini merupakan kumpulan tulisan dari beberapa pengarang; Ayu Utami, Herlino Soleman, Acep Zamzam Noor, Seno Gumira Ajidarma, Afrizal Malna, Darman Moenir, Ahmad Tohari, Upita Agustine, Ngurah Parsua, D. Zawawi, Akhudiat, Motinggo Busye, Piek Ardijanto Soeparjadi, Aoh K. Hadimadja yang mewakili generasi 1980an, generasi karya sasrta baru Indonesia.
Sesuai dengan judul bukunya, para penulis menceritakan mengapa dan bagaimana mereka mengarang. Sebagian besar dari para penulis mengawali kebiasaan menulis dari kesukaan membaca buku sejak kecil atau karena didongengkan oleh orang tuanya atau neneknya, ada pula yang dibacakan wawacan oleh ayahnya,juga karena kebiasaan berpantun atau menyalin mantra-mantra. Ada pula yang masa kecilnya suka akan pertunjukan wayang atau sandiwara dan dongeng radio. Kebiasaaan dalam keluarga meskipun tidak bersangkut-paut dalam dunia tulis menulis menjadi benih yang menyuburkan kesukaan para pengarang ini dalam dunia sastra. Sebagian besar penulis ini, menceritakan dalam kelurganya tidak ada yag berprofesi sebagai pengarang atau penyair. Sehingga tidak bercita-cita menjadi pengarang dari kecil. Namun, adapula yang memang dilahirkan dari keluarga pencinta sastra sehingga sejak kecil sudah bersahabat dengan karya-karya sastra. Ada yang memulai menulis dari sejak dini, SD tetapi ada pula yang memulai menulis ketika kuliah. Satu yang sama dari kesemuanya yang saya tangkap dari semua mengapa mereka mengarang yaitu adanya kegelisahan dalam diri mereka untuk mereka tuliskan.
Dengan membaca buku ini, saya menjadi tahu sedikit cerita dibalik layar dari sebuah karya tulis yang saya nikmati. Ada pengarang dan penyair yang baru tahu namanya dari buku ini *tutupmuka. Tapiii saya jadi tertarik untuk membaca karya mereka seperti karya cerpennya Herlino Soleman, atau karya puisinya Upita Agustine, D. Zawawi Imron, Piek Ardijanto Soeprijadi, Aoh K. Hadimadja, puisi dan prosa karya Ngurah Parsua, cerpen dan puisi karya Akhudiat, novel dan puisi karya Darman Moenir.
Lewat buku ini, saya juga jadi tau secuil karya mereka –para pengarang dan penyair- yang namanya baru saya tau itu (ah, dasar saya kurang gaul terhadap karya sasatra). Saya jadi suka puisinya Acep Zamzam Noor. Diawal tulisannya di buku ini, beliau menguti p sajaknya yang berjudul “Mengapa Kutulis Sajak”, 1981

Mengapa selalu kutulis sajak
Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku
Mengapa harus sajak,Tuhanku, mengapa harus ia
Yang Mampu kupersembahkan padaMu.

Membaca buku ini membuat saya salut, akan pilihan mereka terhadap profesi pengarang atau penyair, yang dihadapkan pada kesulitan-kesulitan, yang seringkali didera kesulitan ekonomi.
Membaca buku ini membuat saya yakin kalau Seno Gumira Ajidarma itu penulis yang…emmm… yang membuat saya bingung ketika baca karyanya, hahaaa  duh! Sementara yang lain menceritakan kehidupannya waktu kecil, SGA malah menceritakan suatu kejadian yang menurutnya cocok untuk menjadi bahan tulisan, tapi tidak kunjung dituliskan dan akhirnya menjadi sebuah tulisan juga untuk buku ini… hmmm… memang sesuai dengan tema buku ini siiih, hanya dijawab tidak secara eksplisit.
Banyak hal yang bisa dikutip dari buku ini, tapi saya kutipkan beberapa saja… (Kalau engga, saya tampak menuliskan ulang bukunya :P)

Ketika sebuah karya telah dilempar ke kerumunan, barangkali pengarang mati, seperti kata Roland Barthes. Tapi dalam proses penciptaannya, pengarang takluk. Pada ciptaannya. (Ayu Utami)
Bagi saya, mengarang adalah sebuah kerja keras tapi mengasyikkan (Herlino Solaman)
Meski telah menempuh banyak kesulitan, kesakitan dan kesepian yang kadang tak tertahankan, saya tetap merasa bangga sebagai penyair dan menganggap kepenyairan sebagai panggilan hidup saya. Lewat puisi saya berjalan tersaruk-saruk mencari makna hidup, mencari kebenaran dan memaknai kehidupan. Saya percaya, dalam pusisi bukan hanya terkandung nilai-nilai keindahan, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran, nilai-nilai cinta, keimanan, dan penghayatan terhadap segala sesuatu yang transeden, yang menjadi tujuan hakiki kehidupan. Bagi saya, puisi juga menjadi media untuk terus menyatakan dan mengaktualisasikan diri di tengah situasi dan kondisi apapun. Di tengah yang serba tak menentu misalnya, puisi akan menjadi tempat katarsis yang nyaman sekaligus kubu untuk melakukan perlawanan. Tempat penyair adalah berada dalam situasi dan kondisi apapun, baik yang tentram maupun tisak menentu. Baik yang indah maupun busuk. Tugas penyair bukan hanya melahirkan tulisan, tapi juga perbuatan. Bukan hanya menerbitkan buku, tapi juga melakukan gerakan nyata di tengah masyarakat (Acep Zamzam Noor)
Saya menulis RDP karena saya harus melahirkan sesuatu yang sudah saya kandung dalam jiwa saya. Saya hamil sastra maka kelahiran sebuah karya sastra adalah sesuatu yang alami dan dialektis. Tujannya? Ah, tanyalah kaum perempuan yang dengan susah-payah melahirkan bayi-bayi tercinta. Apa tujuan mereka melahirkan bayi-bayi (Ahmad Tohari)
Sastra dapat menggambarkan kehidupan, keyakinan, kebudayaan, dan visi masyarakatnya. Ngurah Pasurua)
Sastra merupakan salah satu tempat mencari arti. Berarti berkarya di bidang sastra bagi saya merupakan ibadah, kehidupan, sekaligus keabadiaan. Bisa jadi juga ke kesia-siaan. Mungkin tak berarti karena memang tak berarti. Semua serba mungkin. (Ngurah Pasurua)

Menulis puisi, jadinya merupakan “jendela” untuk melepaskan “erangan” yang selalu bergemuruh dalam diri saya. Kadang-kadang saya seperti si bisu barasian, si bisu bermimpi. Terasa adam terkatakan tidak. Tidak cukup bahas ayang ada untuk mengungkapkannya. Tetapi banyak juga puisi-puisi itu mucul dari usaha saya merespons, menjawab berbagai pertanyaan, baik yang muncul dari dalam diri saya sendiri, maupun dari orang lain. (Upita Agustine).

Jadi bagaimana, tertarik untuk menjadi pengarang? Atau penyair? 😀

Judul : Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana saya Mengarang, jilid 4
Penulis :
Ayu Utami, D. Zawawi Imron, Akhudiat, Motinggo Busye, Piek Ardijanto Soperijadi, Aoh K. Hadimadja, Herlino Soleman, Acem Zamzam Noor, Seno Gumira Ajidarma, Afrizal Malna, Darman Moenir, Ahmad Tohari, Upita Agustine, Ngurah Parsua
Ilustrator : Pamusuk Eneste
ISBN
 9789799102089
Halaman : 270
Penerbit :  Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit
: 2009

Postingan ini untuk memenuhi Non Fiction Reading Challenge 2015

Seri Dongeng Tujuh Menit

Seri buku cerita dongeng yang bisa dibacakan dalam 7 menit karya Clara NG ini terdiri dari 7 buah judul

DSCN7574
1. Ketahuan!
2. Air Mata Buaya
3. Padi Merah Jambu
4. Kancil yang Baik
5. Upik Bermain Bola
6. Wayang Sebelum Tidur
7. Bugi Hiu Suka Senyum

Dongeng 7 Menit

Secara keseluruhan, saya suka dengan cerita di buku anak ini, sangat mengindonesia juga dengan pesan-pesan positif untuk anak-anak (meskipun saya tetepa menyarankan para orang tua tetap mendampingi ketika anaknya membaca atau ketika mendongengkannya dengan menambahkan keterangan sehingga pesan positifnya sampai kepada anak-anak).
Selain itu, saya terpesona dengan ilustrasi-ilustrasi yang terdapat disetiap lembar buku seri dongeng tujuh menit ini 🙂